
Protes DPR 2025: Mahasiswa Menolak Tunjangan Elite dan Menuntut Reformasi Politik
Protes DPR 2025: Gelombang Mahasiswa Lawan Privilege Elite
Awal September 2025, gelombang protes mahasiswa belum juga mereda. Ribuan massa kembali mendatangi gedung DPR RI di Jakarta, menolak kebijakan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan bagi anggota dewan. Aksi ini menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap gaya hidup elite politik yang dinilai jauh dari realitas rakyat kecil.
Protes DPR 2025 sudah berlangsung sejak 26 Agustus, namun semangat mahasiswa justru semakin membara. Setiap hari, barisan massa bergantian datang dari kampus-kampus besar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Medan. Teriakan, spanduk, dan orasi bergema di jalan-jalan, memperlihatkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Gelombang protes ini mengingatkan publik pada sejarah panjang gerakan mahasiswa Indonesia. Dari 1966, 1998, hingga kini, mahasiswa kembali mengambil posisi sebagai motor penggerak reformasi, menantang kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan rakyat.
◆ Latar Belakang: Kebijakan Tunjangan yang Memicu Amarah
Awalnya, DPR mengesahkan aturan yang menetapkan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan bagi setiap anggota dewan. Alasan resminya: untuk “meningkatkan kualitas kerja” wakil rakyat. Namun, publik menilai kebijakan ini absurd, mengingat mayoritas rakyat masih berjuang dengan pendapatan jauh di bawah standar.
Sebagai perbandingan, UMR Jakarta hanya sekitar Rp 5,5 juta, artinya seorang anggota DPR menerima tunjangan perumahan hampir 10 kali lipat dari gaji pekerja rata-rata. Perbedaan mencolok ini menimbulkan kesan bahwa DPR lebih sibuk memikirkan kenyamanan pribadi ketimbang kesejahteraan rakyat.
Bagi mahasiswa, keputusan ini adalah puncak gunung es. Sudah lama DPR dianggap penuh privilese dan minim transparansi. Kasus korupsi, perjalanan dinas mewah, hingga absensi rapat yang tinggi menambah daftar panjang alasan mengapa rakyat kehilangan kepercayaan.
◆ Gelombang Aksi dari Jalanan ke Media Sosial
Protes DPR 2025 tidak hanya terjadi di jalanan. Media sosial menjadi arena penting untuk memperluas gaung aksi. Tagar #TolakTunjanganDPR, #MahasiswaBergerak, dan #ReformasiDikorupsi menjadi trending topic di X dan Instagram.
Foto dan video bentrokan antara mahasiswa dan aparat kepolisian menyebar luas, memicu simpati publik. Banyak influencer, akademisi, dan tokoh masyarakat ikut bersuara mendukung gerakan mahasiswa.
Solidaritas digital ini memperlihatkan wajah baru aktivisme politik di Indonesia. Jika di era 1998 mahasiswa mengandalkan koran dan selebaran, kini generasi 2025 punya senjata baru: platform digital yang mampu menghubungkan ribuan orang dalam waktu singkat.
◆ Bentrokan dengan Aparat: Antara Aspirasi dan Represi
Tidak semua aksi berjalan damai. Beberapa kali bentrokan terjadi ketika mahasiswa berusaha mendekati gedung parlemen. Aparat menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa.
Meski begitu, mahasiswa tetap bertahan dengan taktik barisan rapi. Beberapa bahkan menggunakan helm, kacamata renang, dan kain basah untuk menahan efek gas air mata. Adegan-adegan ini menjadi simbol perlawanan, memperlihatkan bahwa mahasiswa tidak takut menghadapi represi.
Namun, bentrokan juga memicu perdebatan. Sebagian pihak menilai tindakan aparat berlebihan, sementara pemerintah beralasan bahwa langkah itu perlu untuk menjaga ketertiban umum.
◆ Kritik Publik: DPR Simbol Kesenjangan
Di mata publik, DPR kini menjadi simbol kesenjangan sosial. Ketika rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, DPR justru menambah fasilitas mewah.
Banyak pengamat politik menyebut bahwa kebijakan tunjangan ini adalah bentuk korupsi struktural—praktik yang legal secara hukum, tetapi tidak adil secara moral. Istilah “DPR = Dewan Privilege Rakyat” mulai populer di kalangan mahasiswa sebagai sindiran pedas terhadap perilaku elit politik.
Kritik juga datang dari tokoh agama, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil. Mereka menuntut agar DPR membatalkan kebijakan tersebut dan lebih fokus memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
◆ Reaksi Pemerintah dan Partai Politik
Pemerintah pusat berusaha mengambil posisi aman dengan menyebut kebijakan ini sepenuhnya domain DPR. Namun, Presiden juga menekankan pentingnya empati terhadap rakyat.
Beberapa partai politik langsung menuai kritik keras dari basis pemilihnya. Partai oposisi memanfaatkan isu ini untuk menyerang pemerintah dan koalisi, sementara partai pendukung DPR berusaha membela diri dengan alasan “standar internasional”. Sayangnya, argumen ini justru menambah kemarahan publik.
Situasi ini berpotensi memengaruhi peta politik menjelang pemilu berikutnya. Jika DPR tidak segera merespons dengan bijak, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif bisa runtuh semakin dalam.
◆ Potensi Dampak Politik Jangka Panjang
Protes DPR 2025 bisa menjadi momentum lahirnya Reformasi Jilid 2. Generasi muda, terutama mahasiswa dan aktivis digital, kini memiliki kesadaran politik yang tinggi. Mereka tidak segan menantang kebijakan elitis dan menuntut transparansi.
Jika DPR terus mengabaikan suara rakyat, protes bisa berkembang menjadi gerakan sosial lebih besar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan isu ini akan memengaruhi jalannya pemilu dan komposisi parlemen mendatang.
Bagi partai politik, Protes DPR 2025 adalah peringatan keras. Publik tidak lagi pasif. Generasi baru pemilih akan menghukum partai yang dianggap abai terhadap kepentingan rakyat.
Penutup
Protes DPR 2025 adalah cermin kekecewaan rakyat terhadap gaya hidup elit politik yang jauh dari realitas. Tunjangan Rp 50 juta per bulan hanyalah pemicu, namun persoalan utamanya adalah kesenjangan, transparansi, dan keadilan sosial.
Refleksi ke Depan
Jika DPR berani berbenah, momentum ini bisa menjadi titik balik menuju politik yang lebih bersih. Namun, jika suara rakyat terus diabaikan, Protes DPR 2025 bisa menjadi awal dari gelombang reformasi baru yang mengubah wajah demokrasi Indonesia.